Beranda | Artikel
Sumber Pengambilan Akidah Islam
Selasa, 10 Mei 2022

SUMBER PENGAMBILAN AKIDAH ISLAM

Di antara hal yang harus diperhatikan oleh seluruh kaum Muslim, -terutama para  penuntut ilmu-; dalam hal iman dan keyakinan adalah: meluruskan sumber pengambilan agama dan keyakinannya. Sebab bila sumber pengambilan agamanya selamat dan lurus, maka selamat pula iman dan keyakinannya –mengingat imannya sejalan lurus dengan sumber pengambilannya.[1]

Akidah Islam Mempunyai Dua Sumber Utama, yaitu:

  • Kitabullah, al-Qur’anul Karim
  • Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih. Dalam salah satu ayat, Allâh Azza wa Jalla menggambarkan ucapan Rasul-Nya:

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوٰى اِنْ هُوَ اِلَّا وَحْيٌ يُّوْحٰىۙ

Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). [An-Najm/53: 3-4]

  • Ijma’ dari kalangan assalafus shalih juga menjadi sumber referensi pengambilan akidah Islam. Karena ijma’ juga disebutkan dalam sebagian masalah i’tiqâd.

Akan tetapi muara dan landasan dari ijma’ ini pun juga kembali kepada al-Kitab dan as-Sunnah yang sahih. Artinya bahwa ijma’ dalam segala yang terkait dengan i’tiqad bersandarkan pada dalil sam’i (dalil naqli) dari al-Qur’an dan as-Sunnah, bukan didasarkan pada qiyas, tidak pula pada indikasi-indikasi (pertanda-pertanda yang ada), ataupun lainnya[2]

Mengenai hal tersebut, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata dalam al-Aqîdah al-Wâsithiyyah yang disebutkan dalam Majmû’ Fatâwâ, 3/ 157, “Ijma’ adalah pokok dasar ketiga yang menjadi landasan dalam ilmu dan agama. Dengan tiga pokok  dasar tersebut, para Ulama menimbang semua realita yang ada pada manusia, baik berupa ucapan, ataupun perbuatan; baik yang sifatnya batin (tersembunyi) maupun yang lahiriah, yang itu ada korelasinya dengan agama.

Ijma’ yang tepat dan pasti (mundhabith), itulah yang ada pada as-Salaf ash-Shalih, sebab setelah mereka banyak terjadi perbedaan dan umat ini terpencar-pencar.- sampai di sini penukilannya.

Dan dahulu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai khutbahnya dengan ucapan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

أَمَّا بَعْدُ, فَإِنَّ خَيْرَ اَلْحَدِيثِ كِتَابُ اَللَّهِ, وَخَيْرَ اَلْهَدْيِ هَدْي مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ اَلْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

Amma ba’d. Sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah Kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.[3]

Dalam pembukaan khutbah tersebut terdapat penekanan akan urgensi memberikan perhatian serius terhadap sumber pengambilan agama ini –yaitu al-Kitab dan as-Sunnah- , serta keharusan untuk berpegang teguh dengannya. Sekaligus peringatan keras kepada kaum Muslimin agar tidak mengambil sumber selainnya. Dan bila berpaling dan menjauh dari al-Kitab dan as-Sunnah, itu akan menyebabkan kesesatan dan penyelewengan.

Oleh karena itu, Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Barangsiapa meninggalkan dalil, ia pasti akan tersesat jalannya. Dan tak ada dalil kecuali apa yang dibawakan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .[4]

Ini juga seperti yang dikatakan oleh Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad, hafizhahullah, “Aqidah ahlussunnah wal jama’ah itu turun dari langit, bukan muncul dari bumi.”[5]

Maksudnya, akidah itu adalah wahyu dari Allâh Subhanahu wa Ta’ala , berbeda dengan akidah-akidah lain yang menyimpang. Akidah-akidah yang menyimpang ini berasal dari logika manusia, produk pikiran manusia dan  bisikan-bisikan hati mereka belaka.

Oleh karena itu juga para imam ahlussunnah senantiasa menunjukkan dan mengarahkan kepada sumber pengambilan agama ini, yaitu al-Kitab dan as-Sunnah.

Di antara contoh yang paling kentara adalah Imam al-Bukhâri rahimahullah memulai kitabnya al-Jâmi’ ash-Shahîh dengan kitab Bad-il Wahyi (Permulaan Wahyu). Ini isyarat dari beliau bahwa agama ini, baik dalam urusan akidah (keyakinan) maupun ibadah, harus diambil dari jalan wahyu. Kemudian setelah itu dilanjutkan dengan yang kedua, yaitu kitab al-Iman. Ini sebagai isyarat wajibnya beriman kepada apa yang dibawakan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau menyebutkan cara untuk mengetahui hal tersebut, yaitu ilmu; sehingga beliau menjadikannya sebagai judul dari kitab selanjutnya; setelah kitab bad-il wahyi dan kitab al-ilmi.

Begitu pula dengan Imam Abu Ja’far ath-Thahawi rahimahullah. Beliau mengisyaratkan hal ini dalam kitabnya yang masyhur ‘al-Aqîdah ath-Thahâwiyyah. Beliau berkata, “Kita tidak boleh memasuki permasalahan tersebut (dalam hal ini beliau tengah menyatakan bahwa melihat Allâh Azza wa Jalla bagi penghuni surga adalah benar) dengan mentakwilkannya menggunakan logika kita; tidak pula dengan mereka-reka maknanya dengan hawa nafsu kita. Karena tidak ada yang selamat dalam agamanya, kecuali orang yang pasrah menyerahkannya kepada Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya; serta mengembalikan hal-hal yang samar kepada yang mengetahuinya. Dan pijakan Islam seseorang tidak akan kokoh kecuali di atas landasan taslîm (pasrah) dan istislâm (tunduk).”

Bahkan para imam dalam sunnah menyebutkan prinsip dasar ini –yaitu sumber pengambilan agama- , sampaipun dalam bait-bait manzhûmah yang mereka buat dalam menerangkan masalah akidah.  Ini seperti yang dilakukan oleh Imam Abu Bakr bin Imam Abu Daud as-Sijistani rahimahullah. Beliau memulai bait Manzhumah Hâ-iyyah-nya dengan kalimat berikut:

تَمسَّكْ بحَبْلِ اللهِ واتَّبِع الهُدَى               ولا تَكُ بِدْعِيّاً لَعلَّكَ تُفْلِحُ
وَدِنْ بِكِتَابِ اللهِ والسُّنَنِ التِي                أَتَتْ عَن رَسُولِ اللهِ تَنْجُ وَتَرْبَحُ

Peganglah tali Allâh dan ikutilah petunjuk
jangan engkau menjadi ahli bid’ah, semoga kemenangan engkau genggam

Dasari agamamu dengan Kitabullah dan sunnah
yang datang dari Rasûlullâh, pasti engkau selamat dan beruntung

Apabila memang demikian adanya, maka masalah ini dibangun di atas dua kaidah prinsipil; di mana setiap penuntut ilmu harus memperhatikan keduanya sebaik-baiknya.[6]

KAIDAH PERTAMA
Al-Kitab dan as-Sunnah memuat perkara-perkara akidah, baik yang ushul maupun yang furu’nya, dalil-dalil maupun berbagai permasalahannya.

Penjelasan kaidah ini bisa dituangkan dalam dua jenis penjelasan, secara global dan rinci.

Penjelasan Secara Global
Hal-hal yang wajib diyakini oleh seorang Muslim, semuanya telah diterangkan dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya dengan penjelasan yang memuaskan. Penjelasan yang tidak lagi menyisakan alasan-alasan dan udzur (tidak ada alasan bagi seseorang untuk menolaknya), disertai dengan penjelasan dalil-dalilnya, dan cara untuk bisa mengetahuinya.

Mengenai hal ini, Syakhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
… Hal itu dikarenakan pokok-pokok agama itu [1] bisa berbentuk  berbagai masalah yang wajib untuk diyakini atau permasalahan yang wajib untuk diucapkan dengan perkataan, atau permasalahan yang wajib diwujudkan dengan perbuatan. Misalnya, berbagai masalah tauhid, sifat-sifat-Nya, takdir, kenabian dan hari akhirat; [2] ataupun bisa berupa dalil-dalil dari berbagai permasalahan tersebut.

[1] Adapun bentuk pertama, maka semua permasalahan yang perlu diketahui oleh umat manusia, lalu diyakini dan diimani, semuanya telah dijelaskan oleh Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya dengan gamblang dan memuaskan, sehingga mematahkan udzur dan alasan mereka. Karena itu adalah masalah paling besar yang disampaikan dan dijelaskan oleh Rasul dengan penyampaian yang jelas kepada manusia. Dan itu merupakan di antara hujjah paling besar yang akan Allâh Azza wa Jalla tegakkan atas para hamba-Nya melalui para rasul yang menjelaskan dan menyampaikannya.

Kitabullah, yang dinukilkan dari Rasul oleh para Sahabat kemudian dilanjutkan oleh para Tabi’in, dengan lafazh maupun maknanya, demikian pula hikmah yang tak lain merupakan sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang dinukilkan pula oleh mereka; Keduanya memuat tentang itu semua selengkap-lengkapnya, dalam kadar wajib yang sempurna dan juga mustahab (yang sunnah) yang sempurna.

[2] Adapun yang kedua, yaitu dalil-dalil dari berbagai permasalahan ushul (prinsipil) tersebut, maka itu seperti yang diyakini para salaf umat ini dari kalangan ahli lmu dan iman; yaitu bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan dalil-dalil aqli yang diperlukan oleh umat manusia agar bisa memahami permasalahan itu, sesuatu yang tidak dihargai sebagaimana mestinya oleh para mutakallimun (ahli ilmu kalam). Paling bagus, mereka akan mengatakan bahwa al-Qur’an telah membawakan atau menyajikan kesimpulan-kesimpulan (intisari-intisari) dengan cara terbaik. Itu seperti halnya perumpamaan-perumpamaan yang disebutkan Allâh dalam Kitab-Nya; di mana mengenai hal itu Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَلَقَدْ ضَرَبْنَا لِلنَّاسِ فِيْ هٰذَا الْقُرْاٰنِ مِنْ كُلِّ مَثَلٍ لَّعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَۚ

Sesungguhnya telah Kami buatkan bagi manusia dalam al-Qur’an ini setiap macam perumpamaan supaya mereka dapat pelajaran. [Az-Zumar/ 39: 27].

Sedangkan perumpamaan-perumpamaan (matsal) itu tak lain adalah qiyas-qiyas (analogi) secara logika.[7]

Sedangkan untuk penjelasan tentang kaidah secara terperinci, maka itu berkaitan dengan dua pokok utama tersebut:

1. Al-Qur’an al-Azhim
Yang merupakan Kalamullâh yang diturunkan ke dalam hati Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتٰبَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْءٍ وَّهُدًى وَّرَحْمَةً وَّبُشْرٰى لِلْمُسْلِمِيْنَ

 Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. [An-Nahl/16: 89]

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:

مَا كَانَ حَدِيْثًا يُّفْتَرٰى وَلٰكِنْ تَصْدِيْقَ الَّذِيْ بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيْلَ كُلِّ شَيْءٍ وَّهُدًى وَّرَحْمَةً لِّقَوْمٍ يُّؤْمِنُوْنَ

Al Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. [Yusuf/ 12: 111]

Juga firman-Nya:

مَا فَرَّطْنَا فِى الْكِتٰبِ مِنْ شَيْءٍ ثُمَّ اِلٰى رَبِّهِمْ يُحْشَرُوْنَ 

Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab (lauhul mahfuzh, atau Al-Qur’an), kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan [Al-An’am/ 6: 38]

Imam al-Qurthubi rahimahullah dalam menafsirkan ayat terakhir di atas mengatakan, “Artinya bahwa Kami tidaklah meninggalkan apapun dari urusan agama ini, melainkan Kami telah menunjukkan dalilnya dalam al-Qur’an, ada kalanya dengan dalil yang dijelaskan dan diterangkan dan terkadang dengan disebutkan secara global di mana keterangannya didapatkan dari Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau dari ijma’, atau qiyas yang valid berdasarkan nash dari al-Kitab. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتٰبَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْءٍ وَّهُدًى وَّرَحْمَةً وَّبُشْرٰى لِلْمُسْلِمِيْنَ

Dan Kami turunkan  kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. [An-Nahl/ 16: 89]

Juga berfirman:

وَاَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ اِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ

Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan, [An-Nahl/ 16: 44],

juga firman-Nya:

وَمَآ اٰتٰىكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهٰىكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْاۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِۘ

Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allâh. Sesungguhnya Allâh amat keras hukumannya.  [Al-Hasyr/ 59: 7]

Dalam ayat ini juga pada ayat dalam Surat an-Nahl, Allâh Azza wa Jalla menyebutkan secara global  segala sesuatu yang tidak disebutkan dalam nash al-Qur’an.

Jadi, sungguh benar berita dari Allâh Azza wa Jalla , bahwa Dia tidak menyepelekan atau alpa terhadap apapun dalam al-Kitab, kecuali Dia menyebutkannya, bisa dengan menyebutnya secara rinci, ataupun dengan merumuskan dasar kaidahnya.[8]

2. As-Sunnah an-Nabawiyyah
Seperti telah diketahui bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling mengerti tentang Allâh Azza wa Jalla dan agama-Nya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam orang yang paling antusias dalam menasihati manusia, dan yang paling fasih ungkapannya dalam memberikan penjelasan. Jadi, dalam diri Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpadu antara kesempurnaan ilmu, kemampuan dan kemauan. Sehingga dengannya, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa memberikan penjelasan yang komplit terhadap masalah-masalah agama, baik yang berkaitan dengan akidah, amalan, ataupun perilaku.

Bukti yang menunjukkan akan hal itu adalah hadits yang diriwayatkan oleh Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

قَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لَا يَزِيغُ عَنْهَا بَعْدِي إِلَّا هَالِكٌ

Aku tinggalkan kalian dalam keadaan putih yang benderang (dalam hujjah yang terang), malamnya seperti halnya siang harinya. Tidak ada seorangpun yang menyeleweng darinya kecuali seorang yang binasa.[9]

Mengenai hal ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Dar’u Ta’ârudh al-Aql wa an-Naql, 1/ 23- 24 mengatakan, “Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling mengetahui kebenaran. Dialah yang paling fasih lidahnya, yang paling benar penjelasannya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga orang yang paling bersemangat dan antusias dalam memberikan penerangan kepada umat manusia, seperti yang Allâh Azza wa Jalla firmankan:

لَقَدْ جَاۤءَكُمْ رَسُوْلٌ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ عَزِيْزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيْصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِيْنَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ

Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.[At-Taubah/9:128]

Juga firman-Nya:

اِنْ تَحْرِصْ عَلٰى هُدٰىهُمْ فَاِنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِيْ مَنْ يُّضِلُّ وَمَا لَهُمْ مِّنْ نّٰصِرِيْنَ 

Jika kamu sangat mengharapkan agar mereka dapat petunjuk, maka sesungguhnya Allâh tiada memberi petunjuk kepada orang yang disesatkan-Nya, dan sekali-kali mereka tiada mempunyai penolong. [An-Nahl/16:37]

Allâh Azza wa Jalla telah mewajibkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyampaikan risalah dengan sejelas-jelasnya. Allâh Azza wa Jalla telah menurunkan al-Kitab kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam jelaskan kepada umat manusia apa-apa yang diturunkan untuk mereka. Oleh karena itu, penjelasan serta ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pasti menjadi penjelasan yang paling sempurna dibandingkan lainnya. Bila memang demikian keadaannya, lalu bagaimana mungkin Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menjelaskan kebenaran?

Di antara yang menunjukkan kesempurnaan nasihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk umatnya adalah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada mereka segala sesuatu termasuk tentang etika dan adab buang air.

Dalam Shahîh Imam Muslim, hadits no. 262, dari Salman al-Fârisi Radhiyallahu anhu berkata:

قَالَ لَنَا الْمُشْرِكُونَ إِنِّي أَرَى صَاحِبَكُمْ يُعَلِّمُكُمْ حَتَّى يُعَلِّمَكُمُ الْخِرَاءَةَ، فَقَالَ: أَجَلْ «إِنَّهُ نَهَانَا أَنْ يَسْتَنْجِيَ أَحَدُنَا بِيَمِينِهِ، أَوْ يَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ، وَنَهَى عَنِ الرَّوْثِ وَالْعِظَامِ» وَقَالَ: «لَا يَسْتَنْجِي أَحَدُكُمْ بِدُونِ ثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ»

Orang-orang musyrik berkata kepada kami: Sungguh, aku lihat kawanmu itu (maksud mereka adalah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) mengajari kalian, sampai-sampai ia mengajari kalian bagaimana buang air?! Salman berkata, “Benar.  Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami untuk beristinja’  dengan tangan kanannya, atau menghadap kiblat dan Beliau melarang untuk beristinja’ dengan kotoran dan tulang. Beliau juga bersabda:

لَا يَسْتَنْجِي أَحَدُكُمْ بِدُونِ ثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ

Janganlah salah seorang dari kalian beristinja’ kurang dari tiga batu.

Di antara mutiara ucapan imam Dârul Hijrah yaitu Imam Malik rahimahullah , apa yang diriwayatkan oleh Imam Abu Ismail al-Harawi rahimahullah dalam kitab Dzamm al-Kalam, no. 1128 dengan sanadnya kepada Imam Syafi’i rahimahullah :

Imam Malik rahimahullaht ditanya tentang ilmu kalam dalam tauhid, lalu beliau rahimahullah berkata, “Mustahil kalau ada sangkaan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengajarkan umatnya tentang istinja’ akan tetapi tidak mengajarkan tentang tauhid.”

Oleh karena itu, Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dengan ucapan yang senada dengan Imam Malik berkata, “Di antara hal yang sangat mustahil adalah bila rasul yang paling mulia telah mengajarkan umatnya tentang adab buang air kecil, baik adab sebelum buang air, setelahnya ataupun ketika buang air, juga mengajarkan adab hubungan suami istri, adab makan minum, lalu (dianggap) Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengajarkan apa yang harus diucapkan lidah mereka dan apa yang harus diyakini hati mereka terkait dengan Rabb, Dzat yang wajib mereka ibadahi, yang mana makrifat tentang-Nya (mengetahui-Nya) merupakan makrifat yang paling puncak dan sampai kepada-Nya merupakan tujuan yang paling agung, beribadah kepada-Nya semata tanpa menyekutukan-Nya adalah media terbaik untuk mendekat diri kepada-Nya.”[10]

Buah Sikap Konsekuen Dengan Kaidah Diatas
Buah dari sikap berpegang dengan kaidah ini adalah mencukupkan diri dengan al-Kitab dan sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sahih, meninggalkan selain keduanya dalam semua perkara agama. Terlebih lagi apa yang terkait dengan hal-hal yang harus diwujudkan terkait dengan tujuan-tujuan Ilahiah dan Rabbaniah. Mengenai hal ini Ibnul Qayyim rahimahullah dalam as-Shawa’iq al-Mursalah, 4/1352- 1353 mengatakan, “Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla telah mengingkari orang yang tidak  mencukupkan dirinya dengan Kitab-Nya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

اَوَلَمْ يَكْفِهِمْ اَنَّآ اَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتٰبَ يُتْلٰى عَلَيْهِمْ ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَرَحْمَةً وَّذِكْرٰى لِقَوْمٍ يُّؤْمِنُوْنَ

Dan apakah tidak cukup bagi mereka bahwasanya Kami telah menurunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur’an) sedang dia dibacakan kepada mereka? Sesungguhnya dalam (Al Qur’an) itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman.  [Al-Ankabut/ 29: 51]

Mustahil orang yang akalnya menentang al-Qur’an merasa cukup dengan al-Qur’an. Kitabullah hanya akan dirasa cukup bagi orang yang lebih mengedepankan al-Qur’an daripada semua logika, daripada semua pendapat, qiyas, perasaan, hakikat dan aturan. Untuk orang seperti inilah, al-Qur’an ini telah cukup baginya, sebagaimana al-Qur’an ini juga menjadi rahmat dan pengingat hanya untuknya, bukan untuk tipe orang yang lainnya. Adapun orang yang berpaling darinya, atau membenturkannya dengan pendapat-pendapat manusia, maka Kitab ini tentu tidak cukup baginya. Dan baginya, al-Qur’an ini juga tidak menjadi petunjuk, tidak pula rahmat. Tipe orang seperti ini termasuk kategori orang yang mengimani hal-halyang batil dan kufur kepada Allâh Azza wa Jalla .”

Ibnul Qayyim rahimahullah juga berkata dalam badâi’ul Fawâ’id, 4/155, “Maka segala puji bagi Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang telah membuat para hamba-Nya yang beriman merasa cukup dengan al-Qur’an, dengan konten-konten yang termuat di dalamnya, berupa hujah-hujah dan keterangan-Nya, sehingga mereka tidak membutuhkan celotehan para mutakallimin (ahli kalam), tidak pula igauan mereka yang linglung. Sungguh begitu agung nikmat Allâh Azza wa Jalla terhadap para hamba-Nya yang telah membuatnya merasa cukup dengan pemahaman Kitab-Nya, tanpa membutuhkan kepada lainnya. 

KAIDAH KEDUA
Zhahir nash-nash bisa dipahami oleh mereka yang menjadi sasaran khithab (yang diberi al-Kitab ini)

Penjelasan kaidah ini  ada dua macam, penjelasan yang bersifat global dan terperinci.

Penjelasan Global
Sesungguhnya Kalamullâh Azza wa Jalla dan kalam Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kalam (ucapan) dalam bahasa Arab yang jelas. Zhahir dari ucapan tersebut sangatlah jelas dan gambling, bisa dipahami oleh para mukhâtab (lawan bicara) yang menguasai Bahasa Arab. Terlebih lagi, semua permasalahan yang terkait keyakinan dan keimanan.

Penjelasan Terperinci
Adapun penjelasan rinci dari kaidah ini, maka ini terkait dengan dua sumber dasar yaitu al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Pertama, al-Qur’an al-Karim
Al-Qur’an turun dengan menggunakan Bahasa Arab yang jelas. Bahasa yang telah dikenal dan biasa dipakai orang orang-orang Arab dalam pembicaraan mereka.

Dalilnya bisa datang dari dua sisi, dari atsar (dalil naqli) dan dari sisi nazhar (dalil dari logika dan nalar).

Dalil dari atsar (dalil naqli), seperti yang Allâh Azza wa Jalla firmankan:

وَاِنَّهٗ لَتَنْزِيْلُ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ ۗ –  نَزَلَ بِهِ الرُّوْحُ الْاَمِيْنُ ۙ – عَلٰى قَلْبِكَ لِتَكُوْنَ مِنَ الْمُنْذِرِيْنَ ۙ بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُّبِيْنٍ

Dan sesungguhnya al-Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Rabb semesta alam, dia dibawa turun oleh ar-Ruh al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas. [Asy-Syu’ara/ 26:192- 195]

juga firman-Nya:

كِتٰبٌ فُصِّلَتْ اٰيٰتُهٗ قُرْاٰنًا عَرَبِيًّا لِّقَوْمٍ يَّعْلَمُوْنَۙ

Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui. [Fushshilat/ 41 : 3]

juga:

اِنَّآ اَنْزَلْنٰهُ قُرْاٰنًا عَرَبِيًّا لَّعَلَّكُمْ تَعْقِلُوْنَ

Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya. [Yusuf/12: 2]

Juga banyak ayat lainnya yang menunjukkan bahwa al-Qur’an diturunkan dengan Bahasa Arab yang bisa dipahami oleh para mukhathab (lawan bicara)  yang menguasai Bahasa Arab.

Adapun Dalil dari Nazhar (Logika dan Nalar)
Telah diketahui bahwa yang menjadi maksud tujuan dari al-Qur’anul azhîm adalah untuk memberikan hidayah dan pengarahan. Oleh karena itu, ia harus jelas bagi umat yang menjadi sasaran khithabnya. Dan al-Qur’an itu tidak bisa dikatakan jelas sampai ia bisa dipahami dan bisa dinalar oleh umat kala itu. Dan itu tidak akan terwujud kecuali bila al-Qur’an sejalan dengan bahasa yang telah dikenal oleh mereka dalam khithabnya, dan menjadi kebiasaan mereka dalam pembicaraan mereka.

Mengenai hal ini, Imam Ath-Thabari rahimahullah dalam Muqaddimah Tafsirnya, 1/11 mengatakan, “Tidak mungkin bila Allâh Subhanahu wa Ta’ala menyampaikan khithab (menyampaikan pembicaraan) kepada seseorang dari makhluk-Nya kecuali dengan hal yang bisa dipahami oleh mukhathab (orang yang menjadi sasaran pembicaraan atau orang yang diajak bicara). Dan tidak mungkin pula Allâh Azza wa Jalla mengirimkan seseorang di antara mereka untuk membawa risalah dari-Nya, kecuali dengan bahasa dan penjelasan retorika yang bisa dipahami oleh obyek sasaran risalah tersebut.

Sebab mukhathab dan obyek tujuan dari risalah, bila mereka tidak memahami ucapan yang disampaikan dan pesan yang ditujukan kepada mereka, maka keadaan orang tersebut sebelum dan sesudah turunnya khithab akan sama saja. Karena khithab dan risalah tersebut tidak memberikan faidah apapun, yang mana ia sebelum itu tidak mengetahuinya. Dan Allâh Subhanahu wa Ta’ala mustahil memberikan khithab atau mengirimkan suatu misi (risalah) yang tidak mendatangkan faidah dan manfaat bagi orang yang menjadi obyek sasaran khithab tersebut atau orang yang menjadi tujuan dikirimnya risalah. Karena, hal tersebut di kalangan kita dikategorikan sebagai perbuatan orang yang suka merusak dan berbuat sia-sia. Dan Allâh Azza wa Jalla Maha suci dari hal seperti itu.” Selesai penukilan dari ath-Thabari rahimahullah.

Kedua: As-Sunnah An-Nabawiyyah.
Di antara sunnatullah dalam hal penciptaan dan titah-Nya adalah Allâh Azza wa Jalla mengutus setiap Rasul dengan bahasa kaumnya; agar tercapai maksud dari risalah, yaitu memberikan penjelasan dan memberikan peringatan.

Hujjah dari risalah tidak akan tegak, dan udzur umat manusia pun tidak akan terputus kecuali dengan adanya penjelasan dan penyampaian dari para Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan juga pemahaman orang dikirimi rasul. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَمَآ اَرْسَلْنَا مِنْ رَّسُوْلٍ اِلَّا بِلِسَانِ قَوْمِهٖ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ

Kami  tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka.  [Ibrahim/ 14: 4]

Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman mengenai Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

بِالْبَيِّنٰتِ وَالزُّبُرِۗ وَاَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ اِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ 

Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan, [An-Nahl/ 16: 44]

Sedangkan kaum yang di mana Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus di tengah mereka -yaitu kaum Quraisy- merupakan orang-orang Arab murni, sehingga kalam atau ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka adalah ucapan dengan Bahasa Arab dan uslubnya (gaya bahasanya) bisa mereka pahami.

Buah dari Berpegang dengan Kaidah ini:
Sesungguhnya apa yang ada dalam Kitabullah dan hadits Rasul-Nya yang shahih adalah hal yang maknanya bisa dipahami dan dinalar, jelas dan gamblang, terlebih lagi yang terkait dengan apa yang wajib diyakini oleh seorang Muslim tentang Rabb dan Dzat yang diibadahinya.

Catatan seputar kedudukan akal dan fitrah dalam berdalil atas masalah-masalah keyakinan[11]
Bila Kitabullah dan Sunnah yang shahih merupakan sumber pengambilan aqidah Islamiyyah, lalu bagaimanakah posisi akal dan fitrah dalam hal keyakinan (i’tiqad)?

Untuk menjawab hal ini bisa kita lihat dari dua sisi:
1. Fitrah dan akal yang sehat, keduanya mendukung dan sejalan dengan al-Kitab dan as-Sunnah; dan keduanya bisa mengetahui pokok-pokok keyakinan secara global, tidak secara terperinci. Akal dan fitrah bisa mengetahui adanya Allâh Azza wa Jalla dan keagungan-Nya, mengetahui keharusan untuk mentaati dan mengibadahi-Nya, serta bahwa Dia mempunyai sifat-sifat yang agung dan besar secara garis besar dan secara umum. Sebagaimana akal dan fitrah yang sehat dan selamat bisa mengetahui perlunya kenabian, perlu adanya utusan atau rasul, juga keharusan adanya hari kebangkitan dan pembalasan atas amal perbuatan. Ini semua secara global saja, tidak secara rinci dan detail. Adapun hal-hal tersebut dan semua perkara ghaib, maka tidak ada jalan untuk mengetahui sesuatupun darinya secara rinci dan detil, melainkan melalui al-Kitab dan as-Sunnah; artinya melalui wahyu. Kalau tidak demikian, maka itu tidaklah menjadi hal yang ghaib. Perumpamaan wahyu bagi akal dan fitrah adalah laksana cahaya matahari bagi mata.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengenai ayat berikut:

اَللّٰهُ نُوْرُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ مَثَلُ نُوْرِهٖ كَمِشْكٰوةٍ فِيْهَا مِصْبَاحٌۗ اَلْمِصْبَاحُ فِيْ زُجَاجَةٍۗ اَلزُّجَاجَةُ كَاَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُّوْقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُّبٰرَكَةٍ زَيْتُوْنَةٍ لَّا شَرْقِيَّةٍ وَّلَا غَرْبِيَّةٍۙ يَّكَادُ زَيْتُهَا يُضِيْۤءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌۗ نُوْرٌ عَلٰى نُوْرٍۗ يَهْدِى اللّٰهُ لِنُوْرِهٖ مَنْ يَّشَاۤءُۗ وَيَضْرِبُ اللّٰهُ الْاَمْثَالَ لِلنَّاسِۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ

Allâh (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allâh, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkah, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allâh membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allâh memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allâh Maha Mengetahui segala sesuatu.  [An-Nur/ 24 : 35]

Ketika menafsirkan ayat di atas, beliau mengatakan, “Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan tentang perumpamaan cahaya iman kepada-Nya, iman kepada asma’ dan sifat-Nya, juga perbuatan-Nya, dan kebenaran para rasul-Nya – yaitu keimanan yang ada pada hati para hamba-Nya- serta kesesuaian hal itu dengan cahaya akal mereka dan fitrah mereka yang dengannya mereka bisa melihat cahaya iman, dimisalkan dengan perumpaan ini yang memuat ragam cahaya yang paling tinggi yang bisa disaksikan; dan bahwa itu adalah cahaya di atas cahaya: yaitu cahaya wahyu dan cahaya akal; cahaya syariat dan cahaya fitrah; cahaya dalil-dalil sam’i (dalil naqli) dan cahaya dalil-dalil aqli.”[12]

2. Bahwa kontradiksi antara nash sharih (yang tegas) dari al-Kitab dan as-Sunnah yang sahih, dengan akal yang sehat; yaitu akal yang selamat, yang tidak dijamah perubahan dan penyimpangan, hal ini adalah hal yang tidak dapat dibayangkan wujudnya sama sekali. Bahkan itu adalah mustahil. Sebab akal adalah ciptaan Allâh Azza wa Jalla , sedangkan wahyu adalah titah dari Allâh Azza wa Jalla . sehingga tidak mungkin sama sekali bila ciptaan Allâh Azza wa Jalla dan titah-Nya bertentangan. Sedangkan Allâh Azza wa Jalla , hanya milik-Nya lah segala ciptaan dan titah. Seperti yang Allâh Azza wa Jalla firmankan:

اَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْاَمْرُۗ تَبٰرَكَ اللّٰهُ رَبُّ الْعٰلَمِيْنَ

Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allâh. Maha Suci Allâh, Tuhan semesta alam. [Al-A’raf/7 : 54]

Maka bila ada hal yang membuat ada sangkaan kontradiksi antara wahyu dengan akal, maka wahyu harus didahulukan dan ditetapkan; sebab ia datang dari Rasul yang makshum Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan akal tidak ada kemaksuman padanya; akal tidak lepas dari salah. Bahkan akal hanyalah sekedar pandangan manusia yang pasti kurang; yang pasti dihinggapi waham (sangkaan  lemah lagi salah), kesalahan, lupa, hawa nafsu, kebodohan dan kelemahan.

Wallâhu Ta’ala a’lam, walhamdu lillah Rabbil alamin.

(Diterjemahkan dari makalah Hasan Ayat ‘Aljat dalam Majalah Al-Ishlâh al-Jazair edisi 32 hlm. 23 -36)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XXI/1439H/2018M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Diambil dari Syarh Aqidah al-Hafizh Abdil Ghani al-Maqdisi karya DR. Abdur Razzaq al-Badr hlm. 42 dengan peringkasan dan penambahan.
[2] Lihat: Manhaj al-Istidlâl ‘ala Masâ-il al-I’tiqâd inda ahli as-Sunnah wa al-Jama’ah tesis magister karya Utsman Bin Ali Hasan 1/ 154.
[3] HR. Muslim dalam Shahihnya 867; adapun terkait dengan pelajaran yang dipetik darihadits diambil dari Syarh Hâ’iyyah Ibni Abi Daud karya DR. Abdur Razzaq al-Badr hlm. 12.
[4] Ini dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim dari beliau dalam Mitfâh Dâr as-Sa’âdah 1/ 90.
[5] Diambil dari Syarh Aqidah al-Hafizh Abdil Ghani al-Maqdisi karya DR. Abdur Razzaq al-Badr hlm. 43, 45 dengan penambahan.
[6] Dua hal tersebut diambil dari kitab Manhaj al-Istidlâl ala Masâ’il al-I’tiqâd karya Utsman Bin Ali Hasan 1/ 245, 258; juga 2/ 437, 467 terbitan Maktabah ar-Rusyd Riyadh; dengan penyesuaian, peringkasan dan penambahan.
[7] Dar-u at-Ta-ârudh al-Aql wa an-Naql 1/ 27- 28 cetakan Jami’ah al-Imam dengan peringkasan dan pengurangan.
[8] Al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qurân 6/ 420.
[9] HR. Ahmad no 17142, Ibnu Majah 43, lihat Ash-Shahihah 937.
[10] Ash-Shawâ’iq al-Mursalah 1/ 158.
[11] Diambil dari Mabâhits fi Aqîdah Ahlis Sunnah wal Jama’ah Dr. Nashir Al-Aql dengan sedikit perubahan dan penambahan.
[12] Ash-Shawâ’iq al-Mursalah 3/ 851- 852.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/55633-sumber-pengambilan-akidah-islam.html